Kuta Malaka, Ketika Langkah Sebesar Harap


Air Terjun Tingkat Dua
Air Terjun Tingkat Dua

PERTENGAHAN tahun 2012 lalu, delapan pria yang saya juluki pendekar kata bermalam di ujung utara pulau Sumatera. Destinasi kala itu merupakan pantai, barisan batuan yang menjorok ke bening air laut, dengan lantai pasir putih yang memanjakan tapak setelah memanjat kaki Gunung Raja dengan puncak tertinggi 600 mdpal. Lhok Mata Ie, sebidang tanah dan air yang elok di pucuk utara Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar. (Baca: Pendekar kata jadi “tarzan”).

Kini, para pendekar kata itu mencoba peruntungannya di hutan yang sebenarnya rimba, bukan bukit yang dapat dipanjat dengan kepulan asap rokok, atau patokan waktu sampai yang dapat diulur  dengan alasan lelah.

Para pendekar kata tanpa sengaja melakoni “kerjaan” para pendaki kelas berat di destinasi saat ini, yaitu Puncak Gunung Raja, dengan puncak tertinggi 1600 mdpal.

Masih di Kabupaten yang sama, Aceh Besar, kabupaten yang benar-benar menunjukkan bahwa Aceh memang besar. Besar dalam tafsiran kualitas alamnya, para pelancong domestik dan mancanegara sungguh tak rugi apabila menyambangi kabupaten dengan segala destinasi alam yang tergolong paten (Superb) ini.

***

Saya masih ditemani Sayed, dan Taufik, para pendekar kata jilid I. Niatan “meraba” Gunung Raja muncul dari celetuk Taufik di warung kopi, ia bermimpi “menaklukkan” destinasi-destinasi alam yang tersua di Sumatera.

Peta Topografi Aceh Besar
Peta Topografi Aceh Besar

Feel The Expedition! tulisan british itu tertulis di papan tulis baru milik Taufik. Papan tulis itu ia lekatkan di dinding ruang tamu, agar siapa saja yang mengunjungi rumahnya mengerti kesibukan Taufik saat ini dan saat nanti, atau paling tidak untuk gaya-gayaan agar terlihat keren ketika dibaca oleh penghuni tetangga Taufik, para gadis itu.

Gunung Raja merupakan titik terakhir pendakian kami. Saya(Iqbal), Taufik, Sayed, Dwi, Nanda, Murthi, Tajul, Septian, dan Nasir adalah para pendaki itu, Para Pendekar Kata Jilid II.

Seyogianya, tujuan perjalanan kami bukanlah Gunung Raja, melainkan air terjun bertingkat di Kuta Malaka. Perlu diketahui, Gunung Raja terbentang dari Kecamatan Pekan Bada sampai Kecamatan Kuta Malaka, melintasi Kecamatan Suka Makmur dan Kecamatan Leupung. Gunung ini dilintasi oleh satu sungai besar, yaitu Hulu Sungai Geupu yang berada diketinggian 1600 mdpal dan 1100mdpal dengan panjang aliran sungai 53 Km dan luas DAS 91 Km2 berujung di Leupung.

Kami memanjat Gunung Raja dari sisi Kuta Malaka, kecamatan yang merupakan ibu kota dari Kabupaten Aceh Besar, sejalan dengan lokasi awal yang kami tuju, air terjun kuta malaka.

Sebelum Berangkat Menuju Air Terjun Kuta Malaka, Pos I
Sebelum Berangkat Menuju Air Terjun Kuta Malaka, Pos I

Di Kuta Malaka, mengalir air terjun yang bertingkat-tingkat. Ada yang mengatakan tujuh tingkat, ada yang mengatakan 17 tingkat, dan ada yang mengatakan 30 tingkat. Namun berapa pun tingkatannya, ait terjun dari hulu Sungai Jrue itu sangat indah. Airnya sejernih bening kaca yang jika disentuh dinginnya menjalar sampai ke ubun-ubun kepala.

Air terjun itu tumpah di kolam setinggi pinggang yang relatif luas. Air dalam kolam alami itu penuh dan terus tumpah ke kolam berikutnya, dibawahnya, oleh karna itu disebut air terjun yang bertingkat-tingkat. Lantai kolam itu berisi pasir dan kerikil, ada lumut di kulit bebatuan yang menjelma menjadi bibir kolam itu, sisi kiri dan kanannya menjulang pohon-pohon besar dengan juntaian-juntaian akar pohon berakar gantung.

Untuk memanjat air terjun ke tingkat berikutnya, ada jalan setapak dengan tanah keras di sisi kolam alami itu. Untuk mencapai kolam demi kolam, anda dapat mengikuti jalan setapak di sisi kiri dan kanan kolam. Meski agak licin, ada pohon-pohon berukuran sedang yang dapat anda gunakan sebagai pegangan.

Ada bongkahan batu besar yang menancap diantara kolam tingkat lima dan empat. Batu sebesar dua kali mobil itu dilalui air, lumayan deras, mampu membuat kaki bergetar. Untuk mencapainya, badan harus dilekatkan ke batu dan mulai merayap. Beberapa pengunjung menisbatkan nama atau nama kelompoknya pada batu raksasa itu. Mereka memanfaatkan lumut yang tumbuh tipis dikulit batu. Sayed, pemuda tampan berjanggut itu menuliskan DETaK di kulit batu, menandakan crew DETaK pernah berkunjung.

Nah, destinasi inilah niatan awal kami, air terjun bertingkat-tingkat di Kuta Malaka itu, bukan puncak Gunung Raja . Kami berdelapan dipandu oleh Nanda, pemuda dengan potongan rambut tipis. Ia menjadi muka rombongan. Setelah mempersiapkan perlengkapan,  kami bertolak dari Kota Banda Aceh pukul 17.00 WIB, perjalanan selama ±60 Menit pun dilakoni.

Paska Persiapan tetekbengek Pendakian
Paska Persiapan tetekbengek Pendakian

Penampakan kami menuju Kuta Malaka bak penggungsi korban bencana alam, justru Murthi, yang mengikat Belangong (belanga) di punggung ranselnya seperti pemuda ditalak Ineng (perempuan –red). Tidak ada kesan hendak mendaki sama sekali. Ketika singgah di simpang aneuk galong, hendak membeli makan, seorang penjaga warung sempat menanyakan ihwal kedatangan kami yang bergrombol-grombol.

Ho nak jak dek (Hendak pergi kemana dik?)”, tanya si bapak warung dengan aksen Aceh Besarnya. “Jak u Kuta Malaka, pak (Pergi ke Kuta Malaka, Pak)”, jawab ku.

Kami berbincang singkat ketika itu, ia mencoba menggambarkan rute perjalanan menuju Kuta Malaka kepada saya, penjelasannya diselingi guyon dan bahak, giginya yang jarang-jarang itu seakan mau lompat ketika ia menceritakan pengalamannya mendaki Gunung Raja seorang diri. Belum lagi ketika ia memberi nasihat, janggut halus di dagunya seakan mendoakan perjalanan kami.

Peralatan mendaki kami jauh dari sempurna, mendekati standar pun tidak. Tidak ada yang memunggungi tas carrier, semua menggunakan ransel biasa. Headlamp hanya dimiliki Nasir, sedang saya memboyong lampu emergency yang biasa digunakan ketika listrik padam. Perkakas memasak alakadar, tidak ada nesting, belanga dapur dan kompor merek Hock ukuran sedang menjadi rujukan, tak lupa sendok, piring plastik, dan gelas plastik.

Alas kaki juga alakadar, saya dan Sayed justru mengenakan sandal jepit, licin ketika basah dan tajam ketika kering, penyebab pangkal ibu jari kaki kami lecet.

Logistik untuk dua malam itu sedikit mewah, beberapa butir telur, beberapa ons kareng (Ikan teri), puluhan bungkus mie instan, berlemping-lemping kerupuk, beberapa liter beras, rokok, kopi, juga bumbu dapur seperti cabe, tomat dan bawang. Semua itu disematkan dalam ransel, saku, dan jok sepeda motor.

Hendak Membeli Nasi Bungkus di Simpang Aneuk Galong
Hendak Membeli Nasi Bungkus di Simpang Aneuk Galong
Taufik di AirTerjun Kuta Malaka
Taufik di AirTerjun Kuta Malaka

Alangkah beruntungnya kami ketika mendengar kabar bahwa Nanda dapat menyediakan tenda, maklum, ketika berkelah ke Lhok Mata Ie, saya, Sayed dan Taufik seperti dizalimi oleh Rifal yang mendekor tenda seperti “kandang sapi”.

Namun sedikit mengganjal hati ketika kami mengetahui Tenda putih dengan terpal hitam itu hanya dapat menampung lima orang saja. Tidak ada pilihan lain, kami mengaminkan agar malam-malam indah kami di Kuta Malaka dan Gunung Raja nanti tidak diguyur hujan.

Setelah menunggangi sepeda motor dari Banda Aceh menuju salah satu desa di Kecamatan Kuta Malaka. Kami masih harus mendaki, syukur dapat mendaki menggunakan sepeda motor, meski dibeberapa medan motor-motor kami mengerang karna kemiringan melebihi 200.

Iqbal Perdana: Air Terjun Kuta Malaka
Iqbal Perdana: Air Terjun Kuta Malaka

Kami memasuki belantara Kuta Malaka pukul 20.00 WIB, erangan kendaraan kami memecah hening malam waktu itu, lampu sepmor menerangi jalan sempit yang hanya dapat dilalui oleh sebuah mobil, cahayanya seperti menjilat pohon-pohon besar yang rimbun, berpendar di genangan-genangan air.

Jalanan yang berpasir dan bebatu memaksa ban motor bekerja lebih dari biasanya, di tikungan sesekali ban terpeleset akibat tak mampu bersandar pada medan yang berpasir.

Sesekali kami melangkahi anak sungai yang melintang dijalan. Ketika melintasi anak sungai yang sedikit jeluk, air mengelus knalpot sepmor dan mengepulkan asap. Kaki dijuntaikan ke air untuk menyeimbangkan sepmor, airnya sedingin es batu.

Sayed di Air Terjun Kuta Malaka
Sayed di Air Terjun Kuta Malaka

Nanda menaksir perjalanan menuju pos II ini memakan waktu 45 Menit. Ada dua pos yang menjadi patokan ketinggian di Kuta Malaka. Pos I di ketinggian ±320 mdpal dan pos II pada ketinggian ±600 mdpal. Air terjun Kuta Malaka terletak pada pos I.

Rombongan memilih bermalam di pos II agar dapat melihat penampakan malam kota Banda Aceh dan Aceh Besar dari ketinggian lebih dari 600 mdpal.

Kami berhenti sejenak di pos I untuk beristirahat dan mengikat barang bawaan yang dilekatkan di bagian belakang sepmor. Saya memboyong sekardus AMDK, dan ada yang mengikat kompor.

Rehat Sejenak di Pos I
Rehat Sejenak di Pos I

Menuju pos II adalah medan terberat yang dapat dilalui oleh kendaraan bermotor. Tanjakan terjal dan licinnya bebatuan yang menjadi lantai jalan itu mengharuskan kami sangat berhati-hati. Kami merangkakkan sepmor bak mendorong kereta sorong. Suasana hening dan pekat gelap malam menambah suasana seram alur cerita itu.

Sepmor saya sampai terjungkal akibat tergelincir batu, syukur ada Dwi yang membantu membangunkan saya. Kala itu, posisi saya dan dwi hanya beberapa meter. Sedangkan yang lain agak jauh tertinggal di belakang.

Setelah bersusah-payah memanjat tanjakan terjal, kami sampai di pos II, sebuah area terbuka dengan sebatang tiang lampu. Diahadapan kami, lautan berpijar.

Menuju Air Terjun Kuta Malaka
Menuju Air Terjun Kuta Malaka

Saat ini kami berada di Pos II, pinggangnya Gunung Raja. Lautan lampu warna-warni Kota Banda Aceh dan Aceh Besar terjerembab tepat di hadapan kami, seakan menyala di tumit-tumit kaki kami.

Satu dua orang mulai tersenyum menikmati pesona Kota Banda Aceh dari langit, seakan lupa dengan getir menuju tempat ini. Ada yang tertawa, juga yang pantang tertawa mengingat mitos sopan santun ketika berada di tengah rimba. Seperti Tajul yang masa bodo dengan mitos-mitos itu, ia tidak segan mengecangkan pita suaranya mengeluarkan candaan dan guyonan khas para pendaki, seperti ibu-ibu gendong anak, wanita penjual lontong, dan lain sebagainya.

Entah karna bulu kuduknya sudah aus ditanjakan yang terjal tadi, atau memang ia tidak pernah takut dengan mahkluk astral yang mungkin tertawa melihat tingkahnya dibelantara itu.

Tiba di Pos II
Tiba di Pos II
Pagi di Pos II
Pagi di Pos II

Malam itu kami menikmati nasi bungkus yang dibeli di simpang Aneuk Galong tadi. Air dididihkan untuk menyeduh kopi Ulee Kareng, campur susu. Kami duduk melingkari api unggun, dibelakang kami Gunung Raja yang puncaknya diselendangi awan. Hadapan kami kemerlap lampu warna-warni yang lebih mirip gugusan bintang di angkasa.

11 tanggapan untuk “Kuta Malaka, Ketika Langkah Sebesar Harap”

      1. Wahahaha, sisain satu yak

        Oh, kenapa ga dibuat (bersambung) di akhirnya?
        Endingnya itu seperti mengatakan “tunggu kelanjutan kisahnya setelah pariwara berikut ini” 😀

        Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.