Pendekar Kata Jadi “Tarzan”


Dari kiri: Sulistiono, Sayed Jamaluddin, Iqbal Perdana, Rahmat Taufik, Mirza, Rifal, Sammy Khalifa.

Sebentang alam berpunggung bukit, berkaki pantai, salah satu karya maha kuasa tersua di sudut kota Jantho, Aceh Besar. Gumpal awan putih dipinggang Pegunungan Guu Lemoo menambah keasrian hutan tropis khas Aceh itu. Pasir putih menjadi selasar pantai Lhok Mata Ie, tempat yang akan kami kunjungi.

Dari kota Banda Aceh menuju Lhok Mata Ie memakan waktu ± 120 Menit: 60 Menit dengan kendaraan, sisanya berjalan. Menitip kendaraan di rumah penduduk desa Ujong Pancu mustahil dielakkan. Empat roda dua milik kami dan puluhan roda dua lainnya bermalam di rumah panggung yang dihuni masyarakat asli Ujong Pancu itu, per sepmor 5 ribu rupiah.

Ialah tujuh pemuda dengan pengalaman mendaki yang “alakadar” membelah bukit Lhok Mata Ie, 6 Oktober lalu.

“Ini rute paling ‘easy’,” canda Rifal. “Sambil merokok pun pasti sampai,” tambahnya lagi.

Pukul 11 siang kami bertolak dari kota Banda Aceh menuju Lhok Mata Ie, saya dibonceng Sayed Jamaluddin, Rifal berdua dengan Sammy Khalifa, Mirza menggandeng Rahmat Taufik, sedang Sulitiono memacu “bebeknya” seorang diri.

Pukul 1 kurang sekian, rombongan tiba di tempat penitipan sepeda motor. Setelah diparkir, motor diikat dengan rantai. Sisa perjalanan 60 menit itu pun dimulai, Rifal menjadi muka rombongan, dibuntuti oleh saya, Sayed, Rahmat, Mirza, dan Sammy.

Hai theh keh,” ujar Sammy, minta pematik api.

Asap rokok mengepul dimenit pertama kami mendaki. Kebiasaan tak lazim itu juga dipraktekan oleh Sayed dan Mirza. Beberapa menit kemudian, rombongan terpaksa balik kanan. Sammy sudah tidak sanggup lagi menggerakkan kakinya, “Baru 10 menit jalan ka piyoh (sudah berhenti),” heran Rifal.

Rifal seharusnya tidak perlu heran, ia sedang tidak memboyong tim pendaki gunung yang kemampuaanya sudah tidak diragukan lagi. Kali ini Rifal memanggul ‘pendekar kata’ yang lebih akrab dengan “gunungan” tulisan ketimbang gunung ciptaan tuhan. Pendekar kata memerlukan waktu untuk “saling berkenalan” dengan rimba, meski ada beberapa pendekar kata yang duluan akrab dengan rimba.

Rombongan –terutama para pendekar kata– mulai mengenali perilaku rimba. Disisa-sisa menit berikutnya, pendekar kata mulai lihai melangkahkan kaki dirapatnya belukar. Saya, Sammy, dan beberapa pendekar kata lainnya sudah tidak ngos-ngosan lagi. Oh, ternyata rombongan sedang menuruni punggung bukit. Area menanjak telah kami lewati, “Ini tinggal ‘gelinding’ saja,” kata Rifal.

Rifal paham betul daerah yang kami lalui, bisa dikata, ia lebih akrab dengan rimba tuhan daripada kamar tidurnya yang (maaf) lebih “rimba” daripada rimba tuhan itu. Ini yang kesekian kalinya ia bertandang. Dalam rombongan, Rifal yang paling “dipatuhi”, meski perintah yang ia berikan hampir tidak ada.

Setelah balik kanan dua kali dan beristirahat tiga kali, rombongan tiba di Lhok Mata Ie, terjal bukit dan rapatnya belukar sudah berlalu. Saat ini mata dimanjakan dengan putih pasir dan jernih air laut. Inilah Lhok Mata Ie, bibir pantai seluas lapangan tenis itu kiri-kanannya dihalang rimbun hutan. Didalamnya, gugusan terumbu karang turut memperindah lukisan yang maha kuasa itu.

Lhok Mata Ie

Lhok Mata Ie merupakan satu dari ratusan tempat rekreasi di Aceh. Para pelancong biasanya bermalam untuk memancing, karna kekayaan biota laut Lhok Mata Ie masih menjanjikan.

Malam itu berdiri beberapa tenda dome, namun “tenda dome” kami yang paling unik. Unik pembuatannya, unik bentuknya, dan unik peruntukannya. Untuk atap, kami hanya menggunakan jas hujan dan spanduk bekas. Ranting-ranting pohon aru disusun meninggi menjadi dinding tenda. Dapat anda bayangkan jika hujan turun? Tenda dome yang lebih mirip “kandang sapi” itu pasti rubuh diterpa angin. Syukur, malam itu air tidak jatuh dari langit.

Seyogyanya tenda dibangun sebagai tempat beristirahat si empunya. Menentang kelaziman, tenda yang kami bangun justru untuk menyimpan pasokan logistik selama sehari kedepan. Gula, kopi, beras, mie instan, dan beberapa pasokan logistik lain (juga beberapa bungkus rokok) “disemayamkan” di tenda itu.

Si empunya tidur beratap langit berdinding hutan. Selimut dimalfungsikan sebagai alas tidur. Sedang api unggun dinyalakan sebagai penghangat dan penerang sampai kami semua terlelap (pukul 4 pagi).

Lhok Mata Ie

Malam itu para pelancong memancing di bongkahan batu pinggir pantai. Kami tidak. Mirza memanaskan air, ia menyeduh kopi. Tujuh gelas. Gelas plastik, panas jika dipegang dari samping dan goyang jika dipegang dari atas. Tidak ada tangkainya.

Sammy mengambil kamera DSLR yang dibelinya beberapa bulan lalu. Blitz kamera barunya menyala-nyala digelap rimba malam itu. Sinarnya mengalahkan sinar purnama yang melingkar sempurna. Kamera baru. Blitz baru. Satu-dua gambar diambil, gambar ketiga sedikit angker. Kami mengira telah menangkap sesosok makhluk halus. Setelah ditilik, kera punya kerjaan. Ia mencoba mencuri logistik kami yang berada ditenda, jarak tenda dan kami 6 Meter.

Malam semakin pekat, bibit-bibit obrolan sudah habis dikupas. Kami terlelap ketika fajar terbit.

“Bung bagah that eh, acie neu kodak lom ilee,” pinta Mirza.

Oleh : Iqbal Perdana | Admin/Author Suka Tulis

 

2 tanggapan untuk “Pendekar Kata Jadi “Tarzan””

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.